Minggu, 06 Mei 2012

UTS PTK

Animwiyati syadik saputri (153100165)

Siaran Televisi Digital di Indonesia

            Televisi digital atau DTV adalah jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal gambar, suara, dan data ke pesawat televisi. Televisi digital merupakan alat yang digunakan untuk menangkap siaran TV digital, perkembangan dari sistem siaran analog ke digital yang mengubah informasi menjadi sinyal digital berbentuk bit data seperti komputer.
            Secara teknis, pita spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk televisi analog dapat digunakan untuk penyiaran televisi digital. Perbandingan lebar pita frekuensi yang digunakan teknologi analog dengan teknologi digital adalah 1 : 6. Jadi, bila teknologi analog memerlukan lebar pita 8 MHz untuk satu kanal transmisi, teknologi digital dengan lebar pita yang sama (menggunakan teknik multipleks) dapat memancarkan sebanyak 6 hingga 8 kanal transmisi sekaligus untuk program yang berbeda.
TV digital ditunjang oleh teknologi penerima yang mampu beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Sinyal digital dapat ditangkap oleh sejumlah pemancar yang membentuk jaringan berfrekuensi sama sehingga daerah cakupan TV digital dapat diperluas. TV digital memiliki peralatan suara dan gambar berformat digital seperti yang digunakan kamera video.
            Terdapat tiga standar sistem pemancar televisi digital di dunia, yaitu televisi digital (DTV) di Amerika, penyiaran video digital terestrial (DVB-T) di Eropa, dan layanan penyiaran digital terestrial terintegrasi (ISDB-T) di Jepang. Semua standar sistem pemancar sistem digital berbasiskan sistem pengkodean OFDM dengan kode suara MPEG-2 untuk ISDB-T dan DTV serta MPEG-1 untuk DVB-T.
Dibandingkan dengan DTV dan DVB-T, ISDB-T sangat fleksibel dan memiliki kelebihan terutama pada penerima dengan sistem seluler. ISDB-T terdiri dari ISDB-S untuk transmisi melalui kabel dan ISDB-S untuk tranmisi melalui satelit. ISDB-T dapat diaplikasikan pada sistem dengan lebar pita 6,7MHz dan 8MHz. Fleksibilitas ISDB-T bisa dilihat dari mode yang dipakainya, dimana mode pertama digunakan untuk aplikasi seluler televisi berdefinisi standar (SDTV), mode kedua sebagai aplikasi penerima seluler dan SDTV atau televisi berdefinisi tinggi (HDTV) beraplikasi tetap, serta mode ketiga yang khusus untuk HDTV atau SDTV bersistem penerima tetap. Semua data modulasi sistem pemancar ISDB-T dapat diatur untuk QPSK dan 16QAM atau 64QAM. Perubahan mode ini bisa diatur melalui apa yang disebut kontrol konfigurasi transmisi dan multipleks (TMCC).
Frekuensi sistem penyiaran televisi digital dapat diterima menggunakan antena yang disebut televisi terestrial digital (DTT), kabel (TV kabel digital), dan piringan satelit. Alat serupa telepon seluler digunakan terutama untuk menerima frekuensi televisi digital berformat DMB dan DVB-H. Siaran televisi digital juga dapat diterima menggunakan internet berkecepatan tinggi yang dikenal sebagai televisi protokol internet (IPTV).


TV digital mempunyai tiga sistem standart yaitu:
• DVT (Digital Television), sistem yang berlaku di Amerika;
• DVB-T (Digital Video Broadcasting Terrestrial), sistem yang berlaku di Eropa; dan
• ISDB-T (Integrated Services Digital Broadcasting Terrestrial), sistem yang berlaku di Jepang.

            Munculnya televisi digital di Indonesia harus dipikirkan dampak dan konsekuensinya karena selama ini masih banyak masyarakat yang menggunakan dan terbiasa dengan televisi telivisi analog. Berikut dampak dari munculnya televisi digital di Indonesia :
Ø  Dampak Positif

Banyak manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dengan beralih ke penyiaran TV digital antara lain:

1.      Kualitas gambar yang lebih halus dan tajam,
2.      Pengurangan terhadap efek noise,
3.      Kemudahan untuk recovery pada penerima dengan error correction code, serta
4.      Mengurangi efek dopler jika menerima siaran tv dalam kondisi bergerak (misalnya di    mobil, bus, maupun kereta api).
5.      Selain itu sinyal digital dapat menampung program siaran dalam satu paket, dikarenakan pemakaian bandwidth pada tv digital tidak sebesar tv analog.

Ø  Dampak Negatif
Disamping banyak hal yang bermanfaat, tentunya kendala yang akan dihadapi dalam migrasi ke siaran TV digital pun juga semakin banyak seperti:
1.      Regulasi bidang penyiaran yang harus diperbaiki,
2.      Standardisasi yang harus segera ditentukan baik untuk perangkat dan teknologi yang akan digunakan,
3.      Industri pendukung yang harus segera disiapkan baik perangkat maupun kontennya.
4.      Jika kanal TV digital ini diberikan secara sembarangan kepada pendatang baru, selain penyelenggara TV siaran digital terrestrial harus membangun sendiri infrastruktur dari nol, maka kesempatan bagi penyelenggara TV analog eksisting seperti TVRI, 5 TV swasta eksisting dan 5 penyelenggara TV baru untuk berubah menjadi TV digital di kemudian hari akan tertutup karena kanal frekuensinya sudah habis.


Munculnya televisi digital di Indonesia juga memiliki banyak manfaat dan keunggulan. Berikut manfaat dan keunggulan penyiaran televisi digital :
o   Pemirsa juga dapat memilih sendiri kapan akan menonton, remote tidak lagi untuk memilih saluran tapi juga untuk melihat simpanan program, (siaran interaktif). Televisi yang menjadi siaran interaktif akan lebih memudahkan pemirsanya untuk mencari-cari program yang dia sukai. Tidak ada lagi prime-time karena saat itu pemirsa dapat mencari program lain yang dibutuhkan.
o   Penerimaan mobile, efisiensi kanal frekuensi, dan potensi jasa tambahan seperti TV-Interaktif dan layanan data-casting.
o   Aplikasi teknologi siaran digital menawarkan integrasi dengan layanan multimedia lainnya serta integrasi dengan layanan interaktif seperti Video on Demond (VoD), Pat Per View (PPV), bahkan layanan komunikasi dua arah seperti teleconfrence.
Dan keunggulan dari televisi digital adalah :
o   Kelebihan signal digital dibanding analog adalah ketahanannya terhadap noise dan kemudahannya untuk diperbaiki (recovery) di penerima dengan kode koreksi error (error correction code). Sinyal digital bisa dioperasikan dengan daya yang rendah (less power).
o   Pada transmisi digital menggunakan less bandwith (high efficiency bandwidth) karena interference digital channel lebih rendah, sehingga beberapa channel bisa dikemas atau "dipadatkan" dan dihemat. Hal ini menjadi sangat mungkin karena broadcasting TV Digital menggunakan sistem OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) yang tangguh dalam mengatasi efek lintas jamak (multipath fading). Kemudian keuntungan lainnya adalah bahwa sinyal digital bisa dioperasikan dengan daya yang rendah (less power).
o   Migrasi dari era analog menuju era digital memiliki konsekuensi tersedianya saluran siaran yang lebih banyak. Tidak ada lagi antrian ataupun penolakan izin terhadap rencana pendirian televisi nasional maupun lokal karena keterbatasan frekuensi. Televisi digital pun dapat digunakan layaknya browser internet, sehingga sangat integratif fungsinya.
o   Penyiaran TV Digital Terrestrial bisa diterima oleh sistem penerimaan TV Fixed dan penerimaan TV Bergerak. Kebutuhan daya pancar tv digital juga lebih kecil dan ketahanan terhadap interferensi dan kondisi lintasan radio yang berubah-ubah terhadap waktu (seperti yang terjadi jika penerima TV berada di atas mobil yang berjalan cepat), serta penggunaan bandwidth yang lebih efisien.

Adapula perbedaan yang ada pada televisi digital dan televisi analog. Perbedaan yang paling mendasar antara sistem penyiaran televisi analog dan digital terletak pada penerimaan gambar lewat pemancar (sistem tranmisi pancarannya). Pada sistem analog, semakin jauh dari stasiun pemancar televisi, sinyal akan melemah dan penerimaan gambar menjadi buruk dan berbayang. Sedangkan pada sistem digital, siaran gambar yang jernih akan dapat dinikmati sampai pada titik dimana sinyal tidak dapat diterima lagi.
Saat ini Indonesia masih menggunakan sistim analog dengan cara memodulasikannya langsung pada Frekuensi Carrier, sedangkan pada pada sistem digital, data gambar atau suara dikodekan dalam mode digital (diskret) baru di pancarkan. Sebagai ilustrasi, Jika dulu kita menonton film lewat VCR, video yang pakai pita itu adalah analog, tapi kita sekarang dalam format digital MPEG, atau kalau kalau kita mendengarkan musik dengan pita kaset, itu adalah analog, tapi jika kita mendengarkan MP3, itu adalah digital.
Seorang awam membedakannya adalah dengan mudah, Jika TV analog signalnya lemah (semisal problem pada antena) maka gambar yang diterima akan banyak ‘semut’ tetapi jika TV digital yang terjadi adalah bukan ‘semut’ melainkan gambar yang lengket seperti kalau kita menonton VCD yang rusak.
Kualitas digital jadi lebih bagus, karena dengan format digital banyak hal dipermudah. Seperti kalau dulu CD-A (CD audio analog) atau laser disk jadul satu keping hanya mampu memutar lagu selama 60 menit atau sekitar 6 lagu, maka dengan mode digital sekarang pada CD yang sama bisa disimpan lagu digital format MP3 hingga ratusan lagu.
Kalau pada TV analog satu pemancar dengan pemancar lainnya harus dengan frekuensi berbeda, maka dengan mode digital, satu frekuensi bisa memancarkan banyak siaran TV. Siaran TV satelit dulu memakai analog. Sekarang sudah banyak yang digital. Tidak semua TV satelit memakai sistem digital. Di beberapa satelit Arab banyak yang memakai mode analog.

Prospek Masa Depan Penyiaran Televisi di Indonesia dengan adanya Digitalisasi Sistem Media Siaran
Era digitalisasi penyiaran di Indonesia sudah pasti akan datang, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap kita akan menghadapinya, karena begitulah teknologi, selalu berkembang dan kita harus terus mengikuti perkembangannya apabila tidak ingin dibilang ‘ketinggalan jaman’. Begitu pula inovasi teknologi penyiaran adalah suatu hal yang tidak terelakkan di masa depan. Kita dihadapkan dengan kata-kata kunci baru ketika mempelajari digitalisasi penyiaran, seperti terminology teknologi kompressi MPEG (Moving Picture Experts Group), multiplex, simulcast dan masih banyak yang lain. Namun digitalisasi penyiaran tidak hanya persoalan teknologi semata, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, hukum dan juga politik, sehingga persoalan digitalisasi penyiaran di Indonesia perlu dilihat secara komprehensif. Disana ada persoalan state interests, corporation interests, consumers interests juga public interests yang saling berinteraksi.
Pemerintah Indonesia telah menentukan migrasi sistem penyiaran terrestrial dari analog ke digital, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Infomatika RI Nomor 07/P/M.Kominfo/3/2007 tertanggal 21 Maret 2007 Tentang Standar Penyiaran Digital Terrestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, ditetapkan standar penyiaran digital terrestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia yaitu Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T). Ketika pemerintah memutuskan standar penyiaran digital DVB-T yang berlaku di Indonesia, ini berarti kita mengikuti sistem penyiaran digital di Eropa.
Tampaknya perdebatan publik di Indonesia tentang proses migrasi ke sistem digital dunia penyiaran belum begitu intens dan masih terbatas pada elite-elite dunia penyiaran, terutama regulator, operator dan vendor yang akan berbisnis hardware equipment dan program siaran dunia. Barangkali banyak masyarakat tidak tahu, merasa tidak perlu, tidak tertarik, dan menilai mahluk seperti apakah sebenarnya digitalisasi penyiaran di Indonesia, di tengah kenikmatan instan menonton dan mendengar program-program siaran radio dan televisi di tanah air saat ini. Mereka masih sibuk mendiskusikan isi siaran yang penuh dengan mistik, infotainment, sinetron, kekerasan, kebanci-bancian, belum pada “revolusi digital televisi” yang akan mengubah dunia penyiaran Indonesia di masa depan.
Perkembangan teknologi penyiaran harus dipandang sebagai peluang untuk memperluas dan mengembangkan jangkauan jenis-jenis layanan penyiaran yang dapat disediakan bagi para pendengar dan penonton. Semula kita mendengar siaran radio yang dipancarkan lewat gelombang SW, MW, AM dan kini FM. Para radio broadcasters migrasi dari AM ke FM. Pada awalnya televisi disiarkan melalui VHF kemudian menjadi UHF. Orang menonton televisi hitam putih kemudian berkembang nonton televisi berwarna. Karena di Indonesia kanal-kanal frekuensi UHF sudah habis, maka frekuensi VHF yang ditinggalkan pemain lama, juga mulai dilirik dan diincar pemain baru.
Di dunia pertelevisian, setelah ditemukan sistem penyiaran terrestrial yang menggunakan gelombang elektromagnetik/spektrum frekuensi radio, kemudian dikembangkan televisi dengan platform kabel, yang dilanjutkan dengan platform satelit, bahkan kemudian dengan platform internet. Tatkala televisi bisa dipancarkan lewat internet, seperti halnya siaran radio di internet, maka kita sebenarnya sudah masuk pada isu konvergensi. Kasus ini pun menjadi perdebatan menarik di kalangan dunia penyiaran. Digitalisasi ini merupakan inovasi teknologi penyiaran yang menciptakan jalan yang menjanjikan bagi suatu peningkatan dalam hal jangkauan dan keberagaman penyiaran di masa depan.
Perubahan teknologi penyiaran harus dibayar dengan mahal. Untuk melakukan migrasi dari analog ke digital membutuhkan biaya besar, baik bagi para operator untuk memperoleh dan membangun infrastruktur penyiaran yang baru (peralatan transmisi, studio, cara pembuatan program baru) dan konsumen (membeli pesawat televisi baru dan top set box).
Dilihat dari sisi corporation interests, tentu saja perubahan ke digitalisasi penyiaran akan menjadi bisnis besar karena permintaan hardware penyiaran yang begitu tinggi. Dilihat dari sisi consumers interests, bagi mereka yang berpenghasilan besar tentu saja mereka mampu membeli perubahan teknologi ini karena mereka akan memperoleh kenikmatan dan kenyamanan baru. Namun bagi konsumen kecil, perubahan teknologi penyiaran harus mereka bayar mahal, terutama dikaitkan dengan penggantian pesawat televisi dan pembelian top set box. Meski pesawat televisi lama masih mampu menangkap sistem digital, namun berangsur-angsur mereka akan terpaksa membeli pesawat penerima televisi yang baru bila ingin memperoleh kualitas siaran yang prima.
Apabila persoalan social costs ini tidak dibahas secara terbuka, maka akan ada biaya politik yang harus dibayar mahal di kemudian hari, mengingat public interests akan mewarnai perdebatan di kalangan politisi terutama ketika memasuki bagian regulasi. Selama ini regulasi digitalisasi penyiaran di Indonesia hanya diatur lewat Peraturan Pemerintah, belum oleh Undang-Undang, sehingga kekuatan legalitasnya masih terbatas. Seolah-olah urusan digitaliasi penyiaran hanya milik Departemen Kominfo, bukan milik negara (state interests) dimana parlemen dan pemerintah harus sepakat tentang kebijakan publik di bidang penyiaran. Padahal Departemen Kominfo sudah merencanakan pada tahun 2018 siaran tv analog sudah switch off.
Di beberapa negara maju, AS misalnya, migrasi ke digital dibiayai negara. Sedangkan di Indonesia, siapa yang harus membiayai migrasi ke digital? Beberapa operator televisi menyebutkan, biaya migrasi harus dibayar masyarakat, sedangkan pendapat pemerintah tentang migrasi ini, selalu menyebutkan pemerintah tidak punya dana untuk membiayai migrasi ke digital, bahkan uji coba sistem digital beberapa waktu yang lalu dibiayai oleh vendor.
Barangkali lembaga penyiaran swasta bermodal kuat siap untuk bermigrasi, bahkan lembaga penyiaran berlangganan di Indonesia telah bermigrasi ke digital, namun bagaimana kemampuan lembaga penyiaran swasta lokal, lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran komunitas untuk bermigrasi mengingat broadcasting equipment mereka saja out of date and out of standard.
Kemungkinan, jalannya migrasi dari analog ke digital di Indonesia akan terasa ‘alot’, karena satu pihak dan pihak lainnya tidak ada suatu komitmen (satu suara) yang memudahkan dan meyakinkan publik untuk bermigrasi. Selain itu, mahalnya peralatan digital akan semakin membuat masyarakat malas bermigrasi. Mungkin apabila pemerintah mengikuti strategi seperti pemerintah Amerika, ending yang dihasilkan akan berbeda. Walaupun kualitas yang ditawarkan oleh DTV ini sangat menggiurkan, teteapi ada beberapa pertimbangan yang membuat orang lebih memilih bertahan dengan TV analog.
Namun, apabila proses migrasi sudah berjalan dan DTV sudah berlangsung, akan banyak kejutan yang menanti konsumen DTV. Paragraf dibawah ini akan sedikit menjelaskan mengenai prospek siaran digital di Indonesia apabila DTV sudah berjalan.
Konten siaran digital yang ditransmisikan lewat platform satelit akan bersaing dengan operator penyiaran platform kabel, sehingga konten siaran yang sama dapat ditransmisikan ke pesawat penerima televisi, ke komputer dan berangsur-angsur ke telepon genggam. Situs internet mampu menyediakan konten multimedia yang berangsur-angsur akan mirip dengan konten siaran yang disediakan oleh penyiaran tradisional (radio dan televisi) dan bahkan banyak operator menggunakan situs webnya sebagai portal mereka untuk menarik penonton dan memberikan mereka tambahan sumber-sumber informasi lain. Lalu, pemrosesan dan transformasi konten oleh konsumen atau pengguna akhir menjadi lebih canggih lagi karena komputer dan macam-macam piranti pemrosesan digital menjadi tersedia lebih luas bagi rumah tangga. Hal ini berarti meng-copy film atau musik akan menjadi lebih mudah, sehingga membangkitkan isu tentang pembajakan.
Inilah sedikit prediksi mengenai isu digitalisasi siaran televisi apabila DTV diterapkan di Indonesia. Ini juga adalah bagian akhir dari pembahasan mengenai DTV dan segala ‘tetek-bengek’ yang berhubungan dengannya. Semoga dengan penjelasan yang masih umum ini akan merangsang kita untuk lebih concern terhadap isu ini.

Dampak yang Timbul Akibat Adanya Sistem Siaran Televisi Digital di Indonesia
Sedikit ketidaknyamanan yang mau tidak mau harus diterima dengan peralihan ke TV digital ini adalah:
1) Perlunya pesawat TV baru atau paling tidak kita perlu membeli TV Tuner baru yang harganya bisa dibilang cukup mahal. Hal tersebut akan menimbulkan dampak yang besar, mengingat hampir seluruh komponen pertelevisian di Indonesia masih menggunakan komponen analog, sehingga kemajuan tekhnologi televisi digital ini dapat mematikan usaha-usaha kecil yang selama ini telah ada. Karenanya hal ini mewajibkan Pemerintah untuk mensosialisasikan lebih rinci kepada masyarakat.
2) Mahalnya perangkat transmisi dan operasional broadcast berbasis tehnologi digital merupakan persoalan tersendiri bagi kemampuan industri televisi di Indonesia. Bagaimanapun untuk bisa menyiarkan program secara digital, perangkat pemancar memang harus diganti dengan perangkat baru yang memiliki sistem modulasi frekuensi secara digital. Untuk mem-back up operasional sehari-hari saja dengan tingkat persaingan antar sesama radio dan televisi swasta nasional saja sudah sangat berat, apalagi untuk harus mengalokasikan sekian persen pemasukan iklan untuk digunakan bagi digitalisasi. Selain itu, dalam masa transisi, stasiun televisi harus siaran multicast atau operasional di dua saluran secara paralel: analog dan digital, karena tetap memberi kesempatan pada masyarakat yang belum dapat membeli televisi digital.
3) Sistem pemrosesan sinyalnya. Pada sistem digital, karena diperlukan tambahan proses misalnya Fast Fourier Transform (FFT), Viterbi decoding dan equalization di penerima, maka TV Digital ini akan sedikit terlambat beberapa detik dibandingkan TV Analog. Ketika TV analog sudah menampilkan gambar baru, maka TV Digital masih beberapa detik menampilkan gambar sebelumnya.
4) Bagaimana soal akses pada jaringan media serta kondisi sistem akses itu sendiri. Persoalan seperti pengaturan decoder TV digital maupun content media menjadi layak kaji dalam hal ini. Dan akses pada spektrum frekuensi
5) Bagaimanapun pada era penyiaran digital telah terjadi konvergensi antarteknologi penyiaran (broadcasting), teknologi komunikasi (telepon), dan teknologi internet (IT). Dalam era penyiaran digital, ketiga teknologi tersebut sudah menyatu dalam satu media transmisi. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh ataupun menyampaikan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka
6) Terjadinya migrasi dari era penyiaran analog menuju era penyiaran digital, yang memiliki konsekuensi tersedianya saluran siaran yang lebih banyak, akan membuka peluang lebih luas bagi para pelaku penyiaran dalam menjalankan fungsinya dan dapat memberikan peluang lebih banyak bagi masyarakat luas untuk terlibat dalam industri penyiaran ini.
7) Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi-aplikasi audio, video dan multimedia, industri senetron, film, hiburan, komedi dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat.
8)  Televisi di Indonesia telah menjadi alat penting baik untuk hiburan maupun untuk mendapatkan informasi. Baik televisi digital maupun analog dalam penyiarannya memiliki kesamaan yaitu memiliki dampak psikologis terhadap penontonnya. Dengan frekuensi menonton yang tinggi dan kualitas tontonan yang rendah akan berdampak buruk baik pada orang dewasa maupun pada pada anak – anak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar